Friday 4 May 2012

MENJAGA EKOSISTEM, MENGURANGI BENCANA

Beberapa waktu terakhir media massa di Indonesia diwarnai kemuraman berita banjir dan tanah longsor yang terjadi di beberapa daerah. Banjir akibat pasang air laut yang terjadi di utara Jakarta belum surut ketika banjir menerjang Solo, Sragen, Ngawi, Madiun, Ponorogo, Lamongan, Bojonegoro, dan Malang, dan tanah longsor merenggut puluhan korban jiwa di Tawangmangu pada akhir Desember 2007. Entah berapa besar kerugian yang harus ditanggung akibat bencana ini. Terhenyak rasanya melihat kenyataan bahwa daerah yang tahun-tahun sebelumnya tidak dilanda banjir pun saat ini diterjang banjir. Belum hilang pula dari ingatan kita banjir besar yang melanda ibukota Jakarta awal Februari 2007 yang lalu yang menyebabkan kerugian triliunan rupiah, kini awal Februari 2008 Jakarta pun kembali menjadi kubangan raksasa. Sepertinya negeri ini tak putus-putusnya dilanda bencana. Bencana banjir yang kejadiannya semakin meluas di negeri ini sesungguhnya dengan bantuan ilmu pengetahuan dan teknologi dapat diketahui dan diprediksi sebab akibatnya. Ada banyak faktor penyebab banjir, diantaranya adalah perubahan iklim dan ketidakseimbangan ekosistem akibat perilaku manusia yang tidak bijaksana dalam mengelola sumberdaya alam dan lingkungannya.
Lingkungan dan Ekosistem
Menurut Associated Programme on Flood Management (2006), lingkungan terdiri dari unsur-unsur udara, air, tanah, sumberdaya alam, flora, fauna, manusia dan keterkaitan antara unsur-unsur tersebut. Pada suatu sistem sungai, kondisi lingkungan dari suatu bantaran sungai atau bantaran banjir ditentukan oleh iklim, karakteristik fisik dan regim aliran sungai yang terbentuk, berbagai ekosistem penyusunnya, dan perlakuan manusia terhadap bantaran sungai tersebut. Sedangkan ekosistem adalah suatu sistem yang dinamis dari tumbuhan, binatang, dan kelompok mikroorganisme serta lingkungannya yang berinteraksi sebagai kesatuan fungsional. Selain itu, sebuah ekosistem mempunyai struktur atau organisasi yang dibentuk oleh komponen-komponen hayati dan non-hayati yang berinteraksi secara berbeda. Makin banyak jumlah elemen dalam suatu sistem yang mencakup ekosistem dan interaksi yang saling menguntungkan, maka gangguan yang terjadi dalam suatu ekosistem akan makin efektif untuk diseimbangkan. Sehingga, ekosistem sebenarnya dapat kembali ke kondisi awalnya setelah terjadi gangguan, namun pada saat yang sama akan sulit untuk diciptakan kembali jika sudah telanjur rusak. Oleh karena itu sangatlah penting upaya untuk memahami sekaligus melindungi struktur dan fungsi dari ekosistem yang kompleks seperti ekosistem hutan, pantai, rawa dan sungai untuk mengurangi bencana banjir dan tanah longsor.
Ekosistem dan Manusia
Menurut Millenium Ecosystem Assessment (2005), manusia mendapatkan banyak manfaat dari jasa yang diberikan oleh ekosistem yang meliputi jasa penyediaan, jasa pengaturan, dan jasa kultural. Jasa penyediaan oleh ekosistem adalah produk yang diperoleh dari ekosistem seperti makanan, serat, bahan bakar, obat-obatan alami, sumber air, dan biokimia. Sedangkan jasa pengaturan oleh ekosistem antara lain adalah pengaturan aliran air pada sistem sungai melalui proses limpasan dan pengisian kembali cekungan air tanah. Jika suatu ekosistem sungai tidak dipelihara dengan baik, maka fungsinya akan terganggu, sehingga akan mengurangi service yang diberikan dan akan mengubah respon terhadap regim aliran sungai yang sangat dipengaruhi oleh perubahan kapasitas penampungan air. Sebagai contoh, suatu bantaran sungai yang sudah beralih fungsi menjadi tempat sampah atau pemukiman akan mengurangi kapasitas penampungan sungai tersebut, sehingga tidak bisa lagi berfungsi untuk mengalirkan air saat debit puncak pada musim hujan. Hal ini juga berlaku untuk ekosistem hutan dan ekosistem pantai. Suatu ekosistem pantai yang terdiri dari hutan bakau dan terumbu karang yang terpelihara dengan baik memberikan jasa berupa pengaturan intensitas dan pengurangan resiko kerusakan akibat bencana gelombang pasang. Hutan yang terjaga dengan baik di hulu suatu daerah aliran sungai akan memberikan jasa berupa pengurangan resiko bencana tanah longsor di daerah tersebut dan berfungsi sebagai daerah resapan air. Pada kenyataannya beberapa hal seperti pertumbuhan penduduk, kemiskinan, budaya konsumerisme, pengembangan pertanian intensif, industrialisasi, urbanisasi, pengembangan infrastruktur transportasi, dan pengembangan pariwisata yang semuanya terkait dengan aspek sosial-ekonomi yang dilakukan oleh manusia menyebabkan kerusakan lingkungan dan ketidakseimbangan ekosistem. Ketika kerusakan lingkungan meluas dan ekosistem sudah tidak lagi seimbang, maka bencana pun tak terelakkan, dan yang paling menderita adalah manusia. Oleh karena itu, seharusnya kegiatan pembangunan untuk meningkatkan kesejahteraan masyarakat luas harus diimbangi dengan upaya menjaga kelestarian lingkungan dan keseimbangan ekosistem agar bencana dapat dikurangi.
Partisipasi Pemangku Kepentingan
Kelestarian lingkungan dan keseimbangan ekosistem dapat dijaga, dan bencana yang terjadi dapat dikurangi, jika semua pemangku kepentingan bersama-sama berupaya untuk melestarikan lingkungan dan menjaga keseimbangan ekosistem. Pemangku kepentingan dalam hal ini adalah masyarakat luas antara lain penduduk, pemerintah, pemuka agama, industri, perguruan tinggi, sekolah, aparat penegak hukum, dan lembaga swadaya masyarakat. Perlu juga dipahami, bahwa dalam suatu daerah aliran sungai, keterkaitan antara daerah hulu dan daerah hilir tidak dapat diabaikan karena kondisi daerah hulu akan berpengaruh terhadap kondisi daerah hilir terkait dengan masalah banjir. Untuk itu sinergi antara daerah hulu dan daerah hilir suatu daerah aliran sungai merupakan faktor penting dalam pengelolaan lingkungan sehingga bencana akibat ketidakseimbangan ekosistem dapat dikurangi. Selain itu, mendidik masyarakat untuk melestarikan lingkungan dan menjaga keseimbangan ekosistem harus dilakukan tanpa henti, dan dapat dilakukan dengan beberapa cara, antara lain dengan pendekatan ilmiah, pendekatan kultural dan pendekatan religius. Pendekatan ilmiah dapat dilakukan di sekolah-sekolah dan perguruan tinggi. Sedangkan pendekatan kultural dan religius akan efektif untuk mendidik masyarakat awam yang kurang berpendidikan untuk memahami fungsi ekosistem dan lingkungan serta pentingnya menjaga kelestarian dan keseimbangannya. Di Indonesia banyak kesenian tradisional yang masih disukai oleh penduduk terutama di pedesaan dan rakyat kecil, seperti kesenian kethoprak, lenong, dan wayang yang bisa dimanfaatkan sebagai media untuk menyampaikan pesan tentang pelestarian lingkungan dan ekosistem (Pudyastuti, 2005). Peran pemuka agama yang didukung oleh akademisi juga sangat penting untuk menyampaikan pesan tentang pelestarian lingkungan dan ekosistem dalam perspektif agama. Jika kita ingin kejadian bencana banjir dan tanah longsor yang terjadi di negeri ini berkurang, maka mulai detik ini juga seharusnya kita semua berpartisipasi untuk melestarikan lingkungan, serta memahami sekaligus melindungi struktur dan fungsi dari ekosistem sebagai bagian yang tak terpisahkan dalam pembangunan yang berkelanjutan.

sumber:tutinurmuntaha.wordpress.com

0 comments:

Post a Comment